Kamis, 08 Juli 2010





Kebijakan yang sesat dengan menyenjatai api kepada
SATPOL PP

Munculnya berita mengenai satuan pamong praja DKI Jakarta akan membeli sekitar 600 senjata api untuk memperlengkapi pasukannya yang bertugas di lapangan dan rencana pembelian itu terkait Permendagri No 26 Tahun 2010, tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja( Kompas, Rabu 7 Juli 2010) , menimbulkan banyak respon dari berbagai pihak. Presiden RI menyatakan bahwa tidak mungkin untuk membatalkan PP karena itu di anggap sulit.
Banyak sekali elemen yang menolak pengadaan senjata api bagi Satpol-PP, karena Selama ini dinilai pelanggaran HAM yang tidak kunjung terselesaikan itu diakibatkan oleh perilaku semena-mena dari para aparat keamanan terhadap warga masyarakat, Satpol-PP merupakan bagian yang sangat dekat dengan warga masyarakat dan sering sekali melakukan pembersihan yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, terutama para anak jalanan, pedagang kaki lima, waria, perempuan pekerja seksual, gelandangan dan pengemis.

Kontroversi senjata api bagi satpol pp

Senjata api yang dimaksudkan dalam Permendagri No 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja adalah senjata gas air mata berbentuk pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa dan stick(pentungan), senjata kejut listrik berbentuk stick(pentungan) dengan menggunakan aliran listrik stroom. Senjata-senjata tersebut di gunakan oleh mereka yang terliput dalam:
a. Kepala satuan;
b. Kepala bagian/bidang;
c. Kepala seksi;
d. Komandan pleton;
e. Komandan regu.

Selain itu juga yang berhak menggunakan senjata api yaitu anggota satpol pp yang melaksanakan tugas operasional di lapangan dan jumlah senjata api yang digunakan dan dimiliki oleh satpol pp paling banyak 1/3 dari seluruh anggota satpol pp.

Sebagian isi dari Permendagri tersebut yang menimbulkan kontroversi terkait pengadaan senjata api bagi satpol pp, dan atas dasar kemanusiaan kemudian banyak elemen yang mengharapkan dibatalkannya peraturan tersebut, penolakan itu selain akan berimbas pada perilaku satpol pp terhadap para calon korban pembersihan mereka, antara lain: pengadaan senjata api dinilai tidak perlu dilihat dari fungsi dan kewajiban satpol pp mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat sesuai dengan PP No 6 Tahun 2010, Pasal 4.

Konflik yang terjadi

Indonesia telah meratifikasi konvenan HAM baik EKOSOB dan SIPOL melalui UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 di dalam ratifikasi tersebut jelas disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan masyarakat melalui pekerjaan dan Negara memberikan kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi ditambah lagi indonesia telah mulai menerapkan good governance yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas.
penembakan gas air mata, seperti yang terjadi pada demo warga kulon progo dan aparat ketika berlangsung sosialisasi rencana penambangan pasir besi yang terjadi di depan kantor bupati kulon progo menimbulkan banyak hujatan dan dianggap aparat telah melanggar HAM berupa menghalangi warga untuk menyampaikan aspirasi terkait nasib mereka sebagai petani, kemudian apa yang akan terjadi jika satpol pp di persenjatai ketika mereka berada pada tugas lapangan dan berpakaian dinas.
Diketahui bersama apa saja selama ini yang dilakukan satpol pp di lapangan dengan berbaju dinas, tak lain adalah pembersihan lapak-lapak pedagang kaki lima, pemindahan para pedagang untuk menempati lapak baru, eksekusi tanah antara warga dan pengusaha, demonstrasi besar yang dilakukan LSM dan Mahasiswa, Jika pada tugas itu di persenjatai dengan senjata api kemudian terjadi penolakan warga untuk pindah dan sebagainya bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Waria, perempuan pekerja seksual, anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pendemo kerap menjadi sasaran selanjutnya, akankah mereka pun harus menjadi korban terkait pengadaan senjata api.

SATPOL PP

Banyak pihak menilai satpol pp dianggap tidak perlu ada jika hanya untuk melaksanakan Perda Pemerintah, perangkat daerah dinilai sudah cukup memadai untuk melaksanankan perda pemerintah, jumlah POLISI, TNI, SATPAM, HANSIP ditambah dengan kepala desa, lurah serta camat, kemudian dukuh dan masih banyak lagi macamnya perangkat desa yang bisa di jadikan bagian dari petugas penertiban masyarakat.
Bukan isue belaka ketika televisi telah memperlihatkan betapa arogannya satpol pp ketika mereka menggunakan nama dan pakaian dinasnya untuk memukuli para pedagang yang bersikeras tidak ingin meninggalkan tempat mereka berjualan selama ini, ketika para waria memilih menjadi waria sebagai pemenuhan hak hidup mereka, pekerja seksual yang semakin dilecehkan akibat pekerjaan yang mereka lakukan, gambar-gambar nyata yang di berikan oleh pekerja media ini yang kemudian menjadikan banyak elemen menolak pengadaan senjata api bagi satpol pp, tanpa senjata pun mereka mampu melakukan hal se arogan itu , apalagi mereka memiliki izin memiliki dan menggunakan senjata tersebut. Menggunakan memang bukan jaminan mereka memiliki senjata tersebut, tapi memiliki sebuah kepastian mereka dapat menggunakan senjata tersebut.

Pertanggung jawaban

Disebutkan pada pasal 8 ayat (2) Permendagri No 26 Tahun 2010, bahwa penggunaan senjata api oleh satpol pp sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat. Kemudian pada pasal 9 ayat ( 1) disebutkan bahwa penggunaan senjata api diluar dari surat izin yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat , harus mendapat surat izin angkut/ penggunaan senjata api dari kepala kepolisian negara republik indonesia melalui kepala badan intelijen keamanan.
Dari bunyi pasal tersebut, pertanyaan kemudian yang keluar adalah siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi penyalahgunaan penggunaan senjata tersebut di wilayah satpol pp?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar