Kamis, 15 Juli 2010

GOEROE KOE



Mengenangmu…..Guruku
( walau hanya dalam buku-buku mu)

Prof Dr Satjipto Rahardjo SH (78), guru besar emeritus sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satu akademisi yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di suratkabar tidak kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun membuktikannya dengan kesetiaan mendalam selama 33 tahun menulis artikel di berbagai suratkabar, termasuk Harian Kompas.
Pak Tjip, sapaan akrab Prof Dr Satjipto Rahardjo, mengenang ketika koleganya dari Amerika Serikat yaitu ahli hukum Indonesia almarhum Prof Dr Daniel S Lev dilarang masuk Indonesia pada masa kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1980-an. Selaku ahli Indonesia, Prof Lev membutuhkan bahan-bahan dari Indonesia untuk kajiannya. Salah satunya adalah artikel-artikel Pak Tjip di suratkabar.
“Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak Tjip, mengutip Prof Lev, saat ditemui di rumahnya di Pleburan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/6). “Aroma” itulah, kata Pak Tjip, yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di jurnal atau buku.

Pokok pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni, bisa menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah.Dengan kemampuannya membuat tulisan ilmiah populer si suratkabar itu
Pak Tjip membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang kering dan tidak menarik. Hukum kalau ditulis dari sisi teknis memang tidak menarik, tetapi kalau dilihat dalam hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut bidang yang ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam artikel-artikelnya.
Ia masih menyimpan dengan rapi tulisan-tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas, ia langsung menunjukkannya. Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat FH Undip ia menulis artikel “Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu itu Rp 5.000.
Tulisan itu berisi pemikiran pengantar atas rencana Simposium “Kesadaran Hukum Masyarakat yang sedang Dalam Masa Transisi” 10-22 Januari, kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Undip. Itulah artikel yang ditulisnya pertama kali untuk media massa dan langsung dimuat tanpa terlalu editing berarti dari editor opini.
Sejak itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun jumlahnya agak menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. “Tahun 1975 itu saya lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH Universitas Indonesia tahun 1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.
Hingga sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang terakhir dimuat Kompas adalah “Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.
Pak Tjip juga tenang-tenang saja ketika tahun 2005 ruang untuk penulisan artikel dipersingkat karena terjadi redesain suratkabar. Sebelumnya artikel itu bisa panjang-panjang, bahkan bisa berseri. “Saya menikmati saja. Dengan adanya batasan kolom itu, kita juga bisa memadatkan pikiran kita,” ujarnya.
Minat terhadap urusan tulis-menulis ini, kata dia, dimulai saat duduk di SMP Pati, Jawa Tengah, tahun 1944-1947. Saat itu suka membuat tulisan tangan di buku tulisnya tentang segala hal yang sedang aktual kala itu. Di buku tulis itu juga ditempel foto-foto, sehingga mirip majalah. “Buku itu laku di kalangan teman-teman saya di sekolah. He-he-he,” tutur pria kelahiran Banyumas 15 Desember 1930 itu.
Namun, talenta masa kecil itu baru diwujudkan secara serius tahun 1975 saat pertama kali menulis di suratkabar. Mengenai proses kreatifnya, Pak Tjip, memberi ilustrasi, menulis itu seni. Seni itu artinya kencing. Kencing itu deskripsi paling rasional mengenai seni. Perasaan terasa lega ketika kencing telah dilakukan. “Menulis seperti itu. Seni itu di atas logika. Logika tulisan akan jalan dengan sendirinya, sudah membaku di kepala,” katanya.
Dengan metode itu, ketika ada isu tertentu menyangkut hukum, ia segera meresponsnya dengan mengasah kemampuan intelektualnya. Buku-buku referensi juga digunakannya jika diperlukan. Karena itu ratusan judul buku tersedia di perpustakaan pribadinya di rumahnya. Walaupun sendirian menulis di perpustakaan itu, Pak Tjip selalu membayangkan sedang berbicara dengan orang banyak.
Di ruang itulah, di depan komputer, Pak Tjip mengetik idenya. Waktunya tidak tentu, kadang bisa dua-tiga jam, tetapi juga bisa dua-tiga minggu. Terlebih belakangan ini, sejak pensiun tahun 2000, ia lebih banyak mengendapkan dulu pemikiran sebelum ditulis. “Mungkin karena umur, saya membutuhkan kontemplasi dulu,” katanya.
Di antara tumpukan buku-buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri. Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni, misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 ini adalah Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang.
Pada usia 78 tahun ini, dengan empat anak, 14 cucu, dan satu buyut, Pak Tjip mengatakan masih banyak ide di kepalanya yang belum dituliskan. Itulah kegiatannya sekarang, latihan intelektual, membaca, dan menulis. Saat ditanya karya buku apa yang paling memuaskannya, Pak Tjip mengatakan, “Masih di kepala saya”.
Apa yang dilakukan Pak Tjip ini seharusnya ditiru oleh para penulis muda.
(Kompas, Subur Tjahjono, ditulis Menyambut Ulang Tahun ke-43 Harian Kompas)
*) Dikronik dari Media Online Kompas, 27 Juni 2008

Selasa, 13 Juli 2010

dieng..............



Antara mie ongklok sate sapi
Dan
Sie rambut gimbal


Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.


Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Kawah-kawah kepundan banyak dijumpai di sana. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin, berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara terkadang dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ("embun racun") karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Perjalanan menuju dieng, didahului dengan melewati kabupaten wonosobo, tempat yang memiliki salah satu masakan khas yaitu mie ongklok sate sapi, dinamakan ongklok karena proses memasak mie tersebut di “ongklok-ongklok” atau di kopyok kata pemilik warung khas tersebut
santapan ini menjadikan imajinasiku semakin liar akan segala ciptaan TUHAN yang berada di wonosobo dan sekitarnya. Sepanjang perjalanan ternyata imajinasi itu menjadi nyata karena TUHAN memiliki banyak keindahan di sepanjang perjalanan menuju dataran tinggi dieng. Perjalanan semakin menanjak menuju dataran tinggi dieng, dibarengi dengan dinginnya udara perjalanan, kanan- kiri tak lepas mata ini memandang banyaknya hasil bumi berupa sayuran yang telah menjadi komoditi dan penghasilan mereka. Perjalanan terus berlangsung dengan pemandangan yang sama sampai kami menuju desa karang tengah.
Sebelum kami sampai di desa yang kami tuju, perjalanan kami terhenti karena perjalanan sesak dengan pengunjung yang telah di cari tau ternyata mereka akan menghadiri ritual pemotongan rambut gimbal yang akan di langsungkan di lapangan sekitar dieng, konon ceritanya pemotongan rambut gimbal atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan potong gombak hingga kini masih dilestarikan warga Desa Batursari, Temanggung, Jawa Tengah, yang berada di lereng Gunung Sumbing. Seorang anak yang memiliki rambut gimbal harus melakukan ritual potong rambut karena telah menginjak usia tujuh tahun.

Sebelum melakukan pemotongan rambut, anak tersebut bersama kedua orangtuanya terlebih dahulu melakukan prosesi arak-arakan mengelilingi kampung diiringi sesepuh desa. Potong rambut dilakukan oleh pemuka agama.

Usai ritual pemotongan, para penari berjoget mengelilingi sang anak yang duduk dikelilingi aneka makanan. Bagi warga Batursari mereka mempercayai bahwa anak yang rambutnya tumbuh gimbal harus dilakukan ruwatan pemotongan untuk membuang sengkala atau kesialan.

Karena tradisi ritual potong rambut gimbal memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka bagi keluarga yang kurang mampu biasanya pemerintah daerah menggelar ritual potong gimbal massal secara gratis.(liputan 6. Temanggung)

Kamis, 08 Juli 2010





Kebijakan yang sesat dengan menyenjatai api kepada
SATPOL PP

Munculnya berita mengenai satuan pamong praja DKI Jakarta akan membeli sekitar 600 senjata api untuk memperlengkapi pasukannya yang bertugas di lapangan dan rencana pembelian itu terkait Permendagri No 26 Tahun 2010, tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja( Kompas, Rabu 7 Juli 2010) , menimbulkan banyak respon dari berbagai pihak. Presiden RI menyatakan bahwa tidak mungkin untuk membatalkan PP karena itu di anggap sulit.
Banyak sekali elemen yang menolak pengadaan senjata api bagi Satpol-PP, karena Selama ini dinilai pelanggaran HAM yang tidak kunjung terselesaikan itu diakibatkan oleh perilaku semena-mena dari para aparat keamanan terhadap warga masyarakat, Satpol-PP merupakan bagian yang sangat dekat dengan warga masyarakat dan sering sekali melakukan pembersihan yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, terutama para anak jalanan, pedagang kaki lima, waria, perempuan pekerja seksual, gelandangan dan pengemis.

Kontroversi senjata api bagi satpol pp

Senjata api yang dimaksudkan dalam Permendagri No 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja adalah senjata gas air mata berbentuk pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa dan stick(pentungan), senjata kejut listrik berbentuk stick(pentungan) dengan menggunakan aliran listrik stroom. Senjata-senjata tersebut di gunakan oleh mereka yang terliput dalam:
a. Kepala satuan;
b. Kepala bagian/bidang;
c. Kepala seksi;
d. Komandan pleton;
e. Komandan regu.

Selain itu juga yang berhak menggunakan senjata api yaitu anggota satpol pp yang melaksanakan tugas operasional di lapangan dan jumlah senjata api yang digunakan dan dimiliki oleh satpol pp paling banyak 1/3 dari seluruh anggota satpol pp.

Sebagian isi dari Permendagri tersebut yang menimbulkan kontroversi terkait pengadaan senjata api bagi satpol pp, dan atas dasar kemanusiaan kemudian banyak elemen yang mengharapkan dibatalkannya peraturan tersebut, penolakan itu selain akan berimbas pada perilaku satpol pp terhadap para calon korban pembersihan mereka, antara lain: pengadaan senjata api dinilai tidak perlu dilihat dari fungsi dan kewajiban satpol pp mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat sesuai dengan PP No 6 Tahun 2010, Pasal 4.

Konflik yang terjadi

Indonesia telah meratifikasi konvenan HAM baik EKOSOB dan SIPOL melalui UU No 11 Tahun 2005 dan UU No 12 Tahun 2005 di dalam ratifikasi tersebut jelas disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan masyarakat melalui pekerjaan dan Negara memberikan kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi ditambah lagi indonesia telah mulai menerapkan good governance yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas.
penembakan gas air mata, seperti yang terjadi pada demo warga kulon progo dan aparat ketika berlangsung sosialisasi rencana penambangan pasir besi yang terjadi di depan kantor bupati kulon progo menimbulkan banyak hujatan dan dianggap aparat telah melanggar HAM berupa menghalangi warga untuk menyampaikan aspirasi terkait nasib mereka sebagai petani, kemudian apa yang akan terjadi jika satpol pp di persenjatai ketika mereka berada pada tugas lapangan dan berpakaian dinas.
Diketahui bersama apa saja selama ini yang dilakukan satpol pp di lapangan dengan berbaju dinas, tak lain adalah pembersihan lapak-lapak pedagang kaki lima, pemindahan para pedagang untuk menempati lapak baru, eksekusi tanah antara warga dan pengusaha, demonstrasi besar yang dilakukan LSM dan Mahasiswa, Jika pada tugas itu di persenjatai dengan senjata api kemudian terjadi penolakan warga untuk pindah dan sebagainya bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Waria, perempuan pekerja seksual, anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pendemo kerap menjadi sasaran selanjutnya, akankah mereka pun harus menjadi korban terkait pengadaan senjata api.

SATPOL PP

Banyak pihak menilai satpol pp dianggap tidak perlu ada jika hanya untuk melaksanakan Perda Pemerintah, perangkat daerah dinilai sudah cukup memadai untuk melaksanankan perda pemerintah, jumlah POLISI, TNI, SATPAM, HANSIP ditambah dengan kepala desa, lurah serta camat, kemudian dukuh dan masih banyak lagi macamnya perangkat desa yang bisa di jadikan bagian dari petugas penertiban masyarakat.
Bukan isue belaka ketika televisi telah memperlihatkan betapa arogannya satpol pp ketika mereka menggunakan nama dan pakaian dinasnya untuk memukuli para pedagang yang bersikeras tidak ingin meninggalkan tempat mereka berjualan selama ini, ketika para waria memilih menjadi waria sebagai pemenuhan hak hidup mereka, pekerja seksual yang semakin dilecehkan akibat pekerjaan yang mereka lakukan, gambar-gambar nyata yang di berikan oleh pekerja media ini yang kemudian menjadikan banyak elemen menolak pengadaan senjata api bagi satpol pp, tanpa senjata pun mereka mampu melakukan hal se arogan itu , apalagi mereka memiliki izin memiliki dan menggunakan senjata tersebut. Menggunakan memang bukan jaminan mereka memiliki senjata tersebut, tapi memiliki sebuah kepastian mereka dapat menggunakan senjata tersebut.

Pertanggung jawaban

Disebutkan pada pasal 8 ayat (2) Permendagri No 26 Tahun 2010, bahwa penggunaan senjata api oleh satpol pp sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat. Kemudian pada pasal 9 ayat ( 1) disebutkan bahwa penggunaan senjata api diluar dari surat izin yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat , harus mendapat surat izin angkut/ penggunaan senjata api dari kepala kepolisian negara republik indonesia melalui kepala badan intelijen keamanan.
Dari bunyi pasal tersebut, pertanyaan kemudian yang keluar adalah siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi penyalahgunaan penggunaan senjata tersebut di wilayah satpol pp?